Selasa, 23 November 2010

I'm Sorry Brother

“Eca bisa diem nggak sih?”
     Bentak Dinda kepada adik laki-lakinya yang terus mengoceh. Dinda  langsung masuk kamar dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Adik perempuannya, Salwa datang sambil marah-marah kepadanya.
     “Ka, kak Dinda apa-apaan sih? Bentak-bantak Eca kayak gitu! Dia nangis tuh!”
     Dinda cuma diam saja. Lalu Salwa meninggalkan kamarnya dengan muka yang masih kelihatan kesal.
     “ Ya Tuhan, kenapa tadi aku bentak Eca? Dia nggak salah apa-apa…”
     Hanya kata-kata itu yang selalu menghantui Dinda sepanjang malam. Dinda adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dua sebenarnya. Eca alias Rezha itu adik angkatnya. Adik perempuannya bernama Salwa. Dinda dikenal sebagai orang yang paling sayang sama Eca. Wajar saja orang sekeluarga menjadi heran ketika ia tiba-tiba marah-marah tidak jelas seperti tadi.
Hari ini memang bukan hari menyenangkan bagi Dinda. Pertama, tadi pagi ia terlambat bangun karena lupa memasang alarm. Alhasil, dia kesiangan dan  terlambat ke kampus. Kedua, di kampus ada mata kuliah tambahan, jadi pulangnya agak terlambat. Padahal, ia sudah ada janji sama kak Dery untuk ikut latihan piano persiapan konser. Besok malam orkesnya diundang sebagai band pengiring di sebuah stasiun televisi. Yup, dia adalah seorang pianis di salah satu orkestra ternama. Karena ada mata kuliah tambahan, jadi dia dimarahi kak Dery dengan alasan nggak konsisten sama waktu. Ketiga, ketika baru selesai latihan Dinda baru ingat harus mengambil kue pesanan mamanya yang dipesan tadi pagi. Dinda memarkir mobilnya di depan toko kue. Tiba-tiba ada seorang cowok yang membunyikan klaksonnya di depan mobil Dinda. “Tiiiinnn…, woy! Mobil siapa sih nih? Parkir sembarangan! Kayak mobilnya bagus aja!” Gerutu cowok itu.
     Dinda yang sudah berada di luar toko mendengar omongan itu dan langsung mendekati cowok itu.
      “Tadi lo bilang apa? Hah? Sok banget sih lo jadi orang. Mobil lo juga nggak lebih bagus dari gue. Liat dong, mobil somplak aja dipake!”
     Dinda menunjuk bagian mobil yang penyok.
     “Eh, lo jangan sembarangan ya!” Cowok itu ngotot.
     “Lagian kan lo duluan yang jelek-jelekin mobil gue!” balas Dinda.
     “Emang kenyataannya gitu kan?”
     “Udah deh, cape tau nggak ngomong sama lo!”
     Dinda langsung masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, dia masih belum bisa menghilangkan rasa kesalnya. Sampai rumah, Eca langsung ngoceh tentang kegiatannya hari ini. Itu hal yang biasa bagi Dinda. Mendengar ocehan adik kecilnya. Karena suasana hatinya yang kesal, jadi dia tidak sengaja membentak Eca. Di hati Dinda terpikir untuk meminta maaf kepada adik kecilnya.
     “Pokoknya besok aku harus minta maaf sama Eca”
     Keesokan hari, Dinda berangkat pagi-pagi karena dia mendapat telepon dari kak Dery. Katanya kak Dery hari ini pemantapan untuk konser nanti malam. Dinda sempat bertanya kepada Salwa tentang keadaan Eca.
     “Sal, Eca dimana?”
     “Lah, jam segini mah dia masih tidur…”
     “Oh, kalo gitu titip coklat ya buat Eca. Bilang aku minta maaf sama dia soal yang kemarin”
     Mama dan papanya hanya diam melihat tingkah Dinda. Setelah mencium tangan mama dan papa, lalu Dinda pergi.
     Sejak awal latihan, perasaan Dinda tidak enak. Entah kenapa. Akhirnya ia memutuskan untuk menelepon rumah. Tetapi mamanya mengatakan keadaan rumah baik-baik saja. Dinda berusaha meyakinkan diri kalau itu cuma perasaannya belaka.
     “Mungkin karena aku masih merasa bersalah sama Eca, jadi aku kepikiran terus” katanya di dalam hati.
     ketika konser berlangsung, perasaan Dinda semakin tidak karuan. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa karena dia telah berada di panggung. Dinda mencoba untuk tetap konsentrasi terhadap konsernya itu. Setelah selesai, Dinda mengecek handphonenya. Mbak Riyad, penata rias artis mendekati Dinda.
     “Din, tadi ada telepon dari mama kamu”
     Dinda heran. Tidak biasanya mama menelepon ketika konser berlangsung. Sesaat terlintas di pikirannya tentang perasaan tidak enak yang mulai terasa sejak tadi siang.
     “Terus mama bilang apa, Mbak?”
     “Katanya adik kamu sakit”
     “Si-siapa yang sakit? Salwa? Apa Eca?” Dinda mulai gugup.
     “Tadi kayaknya sih Eca” kata Mbak Riyad sambil berpikir.
     Dinda kaget. Dia hampir tidak bisa berkata ataupun bergerak sama sekali. Lalu Dinda langsung menelepon mamanya.
     “Tuuuuut…Tuuut…Tuuut…”
     “Duh, mama.., angkat dong…” nada Dinda cemas.
     Sesaat kemudian terdengar suara di seberang telepon. Ada sedikit perasaan lega di hati Dinda.
     “H-halo mam-mama? Siapa yang sakit? Di rumah sakit mana?”
     “Eca panas. Sekarang masih di ruang ICU Rumah Sakit Mitra” kata mama dengan suara hampir menangis. Dinda langsung mengambil kunci mobil kak Dery. Dia nggak peduli kak Dery berteriak-teriak memanggilnya. Yang ada di otaknya cuma Eca, Eca, dan Eca.
     Ketika sampai di rumah sakit, Dinda langsung menuju ruang ICU. Di sana terlihat mama yang sedang menangis. Papa berusaha menenangkan mama. Salwa berdiri di belakangku sambil memegang coklat yang tidak lain coklat yang ingin ku berikan pada Eca.
     “Kakak…”
kedua adik-kakak itu saling berpelukan. Tidak terasa air mata telah jatuh di pipi Dinda dan Salwa.
     “Eca…” Dinda terlihat sangat menyesal.
     “Iya kak..” Salwa menambahkan.
     Kedua adik-kakak itu berjalan ke koridor rumah sakit dengan mulut yang bungkam. Sambil menunggu hasil pemeriksaan dokter yang belum juga jelas, mereka berdua duduk di sebuah kursi tidak jauh dari ruang ICU. Dinda kembali menangis. Dinda mulai membicarakan penyesalannya lagi.
     “Eca…, maafin kakak ya…, nggak seharusnya kakak membentak kamu. Aku emang bukan kakak yang baik kamu…” air mata Dinda semakin deras.
     “Aku juga nyesel banget kak…, soalnya sampai sekarang aku masih belum terlalu bisa terima Eca sebagai adik kandung aku sendiri. Kadang-kadang, aku masih suka anggep dia anak pungut. Tapi ternyata, aku baru sadar kalau aku sayaaang banget sama dia…” kata Salwa sambil terisak-isak.
     “Iya. Ternyata hati kita belum sepenuhnya bisa terima Eca sebagai adik kandung kita…”
     Terasa getaran di saku baju Dinda. Mama menelepon.
     “Nak, kesini nak…, kita udah bisa masuk ke ICU..”
     “I-iya mah…”
     Dinda menghapus sisa air matanya. Kemudian dia menarik tangan Salwa.
     “Mau kemana kak?” Salwa penasaran.
     “ICU..” jawab Dinda singkat. Salwa hanya pasrah tangannya ditarik oleh Dinda.
     Sudah tiga hari Eca tidak sadar. Mama selalu setia menemani Eca di rumah sakit. Dinda kasihan melihat mama. Dinda memutuskan untuk menjaga Eca semalaman ini.
     “Mah, mama pulang aja ya. Biar aku aja yang jaga Eca di sini.”
     “Ya udah. Tapi kalau ada apa-apa telepon mama ya”
     Dinda mengangguk. Sebenarnya Dinda lelah sekali hari ini. Karena harus menjelaskan tentang mobil kak Dery yang terpaksa ia bawa kabur waktu malam ketika Eca di ICU. Untung saja kak Dery mengerti. Kak Dery justru menasihati Dinda, “Jagain dia ya Dinda. Jangan sampai kamu kehilangan dia. Karena kak Dery udah pernah ngerasain kehilangan seorang adik. Pasti kamu akan sangat menyesal.”
     Berakhir sudah lamunan Dinda tentang nasihat kak Dery. Kemudian Dinda menatap dalam-dalam wajah adik kecilnya yang masih tertidur pulas. Dinda menggenggam erat tangan adiknya itu. Tidak terasa air mata mulai berjatuhan ke pipinya. Lalu dia berdo’a dalam hati.
     “Tuhan, berikanlah aku kesempatan untuk membahagiakan dia sebagai adik kandungku, bukan sebagai adik angkatku. Maafkanlah aku yang selama ini tidak memiliki banyak waktu untuknya. Aku terlalu sibuk dengan kegiatanku selama ini. Sampai-sampai aku lupa kalau aku mempunyai seorang adik kecil yang manis dan sangat menyayangi aku. Aku berjanji Tuhan, aku akan berubah. Aku tidak akan menyakitinya lagi. Aku akan menyayangi dia. Aku akan menjadi kakak yang baik buat adik-adikku. Dengarkanlah do’aku Tuhan…, Tuhan…, Tuhan…”
     Dinda merasa dirinya hangat. Seperti ada yang menyelimutinya. Dia terbangun ketika seseorang membangunkannya.
     “Kakak, bangun…, kok kakak tidur di sini? Kan dingin…”
     “Eca? Kamu udah sadar?” Dinda memeluk Eca erat-erat.
     “Eca sayang, maafin kakak ya kemarin udah bentak-bentak Eca. Kakak nggak sengaja. Waktu itu kakak cape banget.”
     “Nggak kok kak. Eca yang salah. Kakak kan lagi cape, eh Eca malah ngoceh terus-terusan. Harusnya kan Eca bikinin kakak minum. Bukannya ngoceh. Iya kan kak?”
     “Nggak sayang. Kakak yang salah. Harusnya kakak nggak bawa-bawa masalah ke rumah.” Dinda terharu. Dia semakin erat memeluk Eca.
     “Eh, tapi kok selimut Eca ada di kakak?”
     “Aku pakein ke kakak. Habis tangan kakak dingin banget. Ya udah aku kasih aja ke kakak.” Kata Eca dengan gaya bahasa kekanak-kanakanya.
     Dinda berkata dalam hati, “Ya Tuhan, aku beruntung sekali punya adik seperti Eca. I’m promise god, I’ll love him with full of my heart. I’m promise. I’m promise god. Hold my promise now.”
          Sejak saat itu, Dinda tahu satu hal. Membuat orang yang kita sayangi itu nggak susah kok. Cukup menyempatkan waktu luang untuknya dan melakukan sedikit hal-hal kecil yang menyenangkan bersama dia. Dari hal-hal kecil yang kelihatannya sepele itulah kita akan mendapatkan kebahagiaan yang tiada tara. 

By : Bunga Mentari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar