Jumat, 20 Januari 2012

DO YOU STILL LOVING ME?

Hai semuanyaaaa, kali ini gue bakal ngeposting cerpen gue nih, mohon kritik dan sarannya yaaa, thank youuu . . .


Hujan deras menimpa genting-genting bangunan tua ini. Air turun begitu bebasnya. Tak ada satu pun orang yang berkeliaran, bahkan burung-burung pun enggan. Kuamati segalanya dari balik jendela kaca bangunan ini, sepi dan sunyi. Tak ada sedikit pun keceriaan di luar sana, bahkan di hatiku juga sama.
Aku memalingkan wajahku dari jalan raya yang sedari tadi kuamati. Kusandarkan tubuhku pada tepian sofa yang nyaman, mataku lurus namun pandanganku kosong . Aku hanya sendiri di sofa kafe kecil ini, berbeda dengan orang-orang di sekelilingku yang sibuk bercakap-cakap dengan teman yang diajaknya. Seolah kesunyian ini menambah kegalauanku, pikiranku menerawan ingatan di hari itu.
“Kamu kenapa Vino? Udah satu jam kamu mandangin aku terus. Sampai kapan kamu mau diam begini?” tanyaku akhirnya setelah lama bertahan. Vino tetap saja diam dan memandangku. Wajahnya sedih, matanya kosong, tak ada lagi Vino yang riang seperti kemarin. Hilang sudah tawa bahagia yang biasa menghiasi wajahnya.
Vino lalu berdiri dengan ragu-ragu, kuraih tangannya agar ia tak pergi kemana-mana, “Vino please, jangan pergi” pintaku seraya menatap matanya. Namun bukan jawaban yang kudapat, melainkan pelukan erat dari dirinya. Pelukan itu sangat erat, sangatlah erat serasa ini adalah pelukan terakhir dari dirinya. Ia mengusap kepalaku degar rasa sayang yang kurasa di dalamnya. Kudengar ketakberdayaan ucapannya, ucapan itu sangat jelas teringat dalam pikiranku, “Maafin aku Aura, aku bukan orang yang pantas buat kamu. Aku ngga punya apa-apa yang bisa bahagiain kamu, maafin aku Auraa”. Kemudian pelukan itu merenggang, dan sosok itu hilang begitu saja, meninggalkan aku yang masih tercengang dengan semuanya.
Vino tak pernah datang lagi ke rumahku sejak hari itu. Ia yang selalu terbiasa menjemputku untuk pergi ke sekolah, mendadak hilang dari sekitarku. Dalam satu minggu ini, aku dan dia hanya saling melemparkan senyum, wajarkah ini bagi kami yang biasanya selalu bersama? Ini bukanlah masalah bagiku, aku bisa mengerti keadaannya. Hanya saja yang kurasakan, aku rindu dengannya. Sangat sangat rindu.

Sampai tibalah hari itu . . .

Bel pulang sekolah telah berbunyi, namun kelasku belum juga keluar karena penjelasan guru Fisikaku belum selesai. Aku sudah penat sekali dengan hari ini, aku ingin pulang. Kudengar gemuruh keramaian di luar sana, kepalaku sontak menoleh ketika merasa suara-suara itu akrab di telingaku. Ternyata ia sudah keluar lebih awal, ucapku dalam hati.
Vino dan teman-temannya tampak asik mengobrol dalam satu lingkaran kecil. Kudengar Vino berbicara panjang lebar –dengan ekspresi usil di wajahnya- kepada teman-temannya, seketika tawa terbahak-bahak pecah di lingkaran kecil itu. Teman-teman Vino tertawa mendengar candaannya yang mengocok perut itu. Vino ikut tertawa juga sambil mengacak-acak rambut teman di sebelahnya, ya itulah kebiasaannya. Kulihat teman di sebelahnya menjadi marah dan balas mencubit tangan Vino. Mau tak mau aku tertawa juga melihat keseruan itu, aku senang Vino kembali ceria lagi, ia terlihat lepas sekarang, persis seperti biasanya.
Aku segera bergabung dengan lingkaran kecil itu setelah kelasku diizinkan pulang. Melihat keceriaan Vino tadi, aku jadi tidak ragu untuk menyapanya, “Hey Vinooo” ucapku dengan wajah sumringah sambil menepuk bahunya. Dugaanku ternyata benar, “Hey Auraaa” balasnya menyapaku tak kalah senangnya. Aku jadi semakin tersenyum melihat sikapnya ini, inilah pertama kalinya kami saling berbicara di minggu ini.
“Eh eh kasian eeeeh, kita ketawa-tawa gini padahal si Maudy lagi sedih” seru Anya mengumumkan dengan tatapan meledek ke arah Maudy. “Ya elaaah Maudy, putus, nangis, guling-guling, galau, ngga mau sekolah, bunuh diri, alaaaah” timpal Vino tengil. Maudy yang diledek terus hanya memajukan bibirnya tanda sebal. Lagi-lagi aku ikut tertawa melihatnya.
Rayi yang sedari tadi turut meramaikan suasana, tiba-tiba menyenggol bahu Vino, “Alaaah lu Vinoo, ngeledekin Maudy tapi sendirinya? Hayoo, hahaha”. Vino hanya tersenyum ringan. Aku yang jadi tertawa, perlahan mulai meresa ketika menyadari apa yang diucapkan Rayi, ngeledekin Maudy tapi sendirinya? . . . putus, nangis, guling-guling, galau . . . Aku mencoba mencerna semuanya. “Eh tapi seriusan lu putus sama Vino? Asli gue ngga percayaa!” tanya Rayi sambil menghadapku, berarti pertanyaan tadi itu ditujukkan kepadaku bukan?
Aku langsung menahan nafasku, memandang Rayi dengan bingung, putus? Apa maksudnya ini? Aku menoleh kea rah Vino, namun ekspresinya biasa saja tidak ada perubahan. Ia tidak menunjukkan sedikit pun keterkejutan, kepanikan, atau apa pun. Atau mungkin Vino yang sengaja menyebarkannya . . . Pikiranku seketika buyar saat Rayi berteriak-teriak di telingaku, “Bener ngga wooy, Raaaa?”. “Siapa yang bilang?!” tanyaku tajam tanpa begitu kusadari, sepertinya pertanyaan ini keluar dengan sendirinya tanpa kuperintah. Kini, justru Rayi lah yang memandangku dengan bingung, sebelah alisnya naik, “VIno yang ngomong sendiri” ucapnya.
Aku langsung menelan ludahku, mataku membelalak pada Rayi, tidak menyangka ia akan mengatakan yang seperti tadi. Sekali lagi aku menoleh ke arah Vino, namun ia tetap tak bergeming seolah tidak mendengar apa-apa.
“Ih bener ngga, Raa?” tanya Rayi lagi sambil mengguncang-guncang bahuku. “I . . . Iyaa” kusesali jawabanku yang terbata-bata itu, dengan menjawab iya,  bukankah sama saja aku membenarkan semuanya? Namun apalagi yang dapat aku katakan selain iya? Aku menghela nafasku dengan pasrah.
“Eh bener ya, tapi bukannya kalian berdua itu deket ba. . .”
Rayi terus berbicara, namun aku nyaris tidak bisa mendengarkan apa yang sedang diucapkannya, aku sibuk memahami semua yang baru saja aku alami. Aku tak mau menoleh ke arah Vino lagi, aku takut semakin kecewa dibuatnya. Dengan menyebarkan berita -tidak benar- itu dan membiarkan Rayi bertanya kebenarannya padaku, bukankah sama saja Vino menginginkan hal itu benar terjadi? Bukankah sama saja Vino mengharapkan aku dan dirinya cukup sampai disini?
Atau Vino hanya bercanda dan ingin mengujiku? Jika aku marah berarti aku sayang, dan jika aku biasa saja berarti aku tidak sayang pada dirinya, apakah begitu pemikirannya? Atau memang benar aku dan dia telah putus, hanya saja aku yang belum menyadarinya?
Terlalu banyak kemungkinan yang ada di pikiranku, ingin rasanya aku menarik Vino dan meminta dirinya untuk menjelaskan semuanya padaku. Namun sayang, aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapannya.
“Itu semua karena Aura masih sayang sama guee” jawab Vino dengan pertanyaan sebelumnya yang tidak kudengar. Lalu kudengar semuanya bersorak-sorai meledek aku dan Vino, “Cieeee hahaha balikan aja udaah” seru Anya kali ini. aku tetap berusaha menjaga kepalaku agar tidak menghadap ke arah Vino, aku hanya tersenyum ringan menanggapi semuanya. “Gue pulang yaa” pamitku cepat-cepat sebelum aku jatuh di hadapan mereka. Kurasakan tatapan-tatapan bingung teman-temanku, “Biarin aja lagi sakit. . .” kudengar sepintas perkataan Vino, namun selanjutnya aku tidak berhasil mendengarnya, karena aku sudah terlalu jauh.
Dua minggu sudah kejadian itu berlalu, namun perasaanku masih saja sama seperti saat aku baru mengalaminya. Saat aku mendengar kata putus itu, hatiku yang penuh akan cerita dirinya mendadak kosong dan hampa, semuanya lenyap seiring dengan mengalirnya rasa kecewaku padanya. Hatiku serasa ditiban beban yang sangat berat.
Awalnya aku menganggap ini semua hanyalah bahan candaannya dengan teman-temannya semata. Namun setelah aku tahu bahwa sampai hari ini belum juga ia berbicara denganku, aku dengan berat hati harus menganggap bahwa semua ini memanglah keinginan dari dirinya. Perih sekali rasanya mengingat angan-angan indah yang telah kami ucapkan, namun ternyata semuanya justru berakhir setragis ini.
Perlahan aku mulai bisa melupakan sakit ini, perlahan aku mulai bisa merelakan dirinya. Ternyata benar, pelukan di hari itu adalah pelukan terakhir dari dirinya. Inilah kenyataan yang ia inginkan. Aku harus bisa menerimanya, cepat atau lambat, bisa atau tidak bisa, dan mau atau tidak mau, aku harus. Aku tidak mungkin merengek di hadapannya dan meminta dirinya kembali lagi kepadaku, itu hanya tindakan bodoh.
Namun sejujurnya ada satu hal yang masih terngiang dalam benakku, setelah banyak cerita indah yang   kami lewatkan, aku ingin bertanya pada lubuk hatinya, Masihkah ia menyayangiku?

By : Bunga Mentari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar