“Gue, gue. . . Ih, harus dijawab ya?” seru Maura menyuarakan ketidakberdayaannya. “Iya, harus Maura. Gue mau tau jawaban lo sekarang” jawab Mario dengan lembutnya. Maura mendecak lemas, memang pada akhirnya ia harus mengaku pada Mario, teman satu sekolahnya yang kini sedang menatapnya lekat-lekat. “Oke, gue juga sayang sama lo Mario”. Mario tersentak seketika. Ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar, “Maura, bisa lo ulang sekali lagi? Please gue mohon” tanyanya mencoba mencari kepastian. Maura tersenyum sebelumnya, “Gue juga sayang sama lo Mario” ucapnya dan disaat itulah Mario sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan pada Maura. Mario bingung harus berbuat apa, mengapa ia baru mengetahuinya sekarang? Jika saja ia tahu bahwa Maura menyayanginya, ia tidak akan mungkin berpacaran dengan adik kelas yang sejujurnya lebih disayanginya sebagai seorang adik. Mario menarik nafasnya dalam-dalam, “Mauraaa, kenapa lo ngga pernah sedikir pun nunjukkin ke gue kalo lo sayang sama gue? Justru lo selalu menghindar setiap kali gue ngedeketin lo. Gue piker lo ngga peduli sama semua perhatian gue. Itu alasannya gue nembak Reina, Mauraa. Gue mau coba buat ngelupain lo, tapi nyatanya gue tetep ngga bisa” jelas Mario menyesali semua keadaan.
Mendengar Mario telah bersama Reina, munculah berbagai perasaan campur aduk di dalam hatinya. Di satu sisi Maura sangat terpukul mengetahui bahwa Mario telah bersama orang lain. Namun di sisi yang lain Maura bersyukur, ia tidak akan menyakiti Mario dengan menolaknya secara langsung, karena dengan adanya Reina membuat Mario tidak akan lagi memintanya untuk menerima dirinya. Maura hanya bisa bersikap pasrah, toh dengan ada atau tidak adanya Reina tetap saja rasa sayang Maura terhadap Mario harus diredam juga. “Ngga apa-apa Mario, mungkin yang terbaik buat lo itu emang Reina. Lagi pula kita kan emang ngga bisa sama-sama Mario” jawab Maura mencoba sebisa mungkin terlihat tenang. “Ngga ada yang ngga bisa selagi kita mau berusaha. Dan inget Maura, jangan pernah bilang yang terbaik buat gue itu Reina. Karena sampai kapanpun bagi gue Cuma elo yang gue sayang” tandas Mario mengakhiri pembicaraannya hari ini dengan Maura.
Mario tidak menyerah begitu saja. Ia harus bisa menemukan penyelesaian atas alasan yang diberikan Maura saat menolaknya, karena hanya itulah satu-satunya yang menghalangi hubungan antara Mario dengan Maura. Mengenai Reina, bagi Mario itu adalah urusan yang sangat mudah, ia tinggal mengatakan apa yang sebenarnya dan meiminta hubungannya dengan Reina berakhir. Mario tidak habis piker, mengapa ada seorang gadis yang lebih mementingkan hati orang lain? Baru kali ini Mario merasakan perasaan sedalam ini, namun mengapa keadaannya harus serumit ini?
Keesokan harinya Mario menghampiri Maura di kelasnya. Maura yang sedang tertawa bersama teman-temannya menjadi terkejut akan kehadiran Mario, ia mencoba sebisa mungkin terlihat normal, “Eh Mario, ngapain lo? Udah makan?” tanya Maura. “Mau nyamperin lo aja Ra, gue kan ngga bisa sehari aja ngga ngeliat lo” jawab Mario seraya tertawa ringan. Biar bagaimanapun Maura sangat senang mendengar ucapan Mario barusan, ia jadi ikut tersenyum, “Hahaha Mario Mario. Udah ngaku aja, ada apaan dateng ke kelas gue?” tanya Maura lagi. Mario diam sejenak sebelum akhirnya mulai berbicara, ia menatap Maura dengan serius, “Apa ngga sebaiknya kita ngomong baik-baik aja Ra sama dia? Cuma itu cara satu-satunya supaya kita bisa sama-sama” ucap Mario to the point yang secara tidak sadar membuat senyum Maura berubah pasrah. Maura menghela nafasnya dengan lemas, “Marioo, please gue mohon sama lo ngertiin alesan gue. Gue ngga mau egois dan ngalahin hati sahabat gue. Jangan bikin gue semakin bingung, oke?” jawab Maura setegas mungkin meskipun dalam hatinya ia sendiri tak yakin bahwa ia bisa menjauhi Mario. “Maura dicoba dulu, gue mohoon” pinta Mario sekali lagi. Maura tetap menggeleng dengan sangat yakin, “Gue ngga bisa Mario” tandasnya dan percakapan itu selesai.
Hari-hari berikutnya di SMA itu, semua berjalan normal seperti biasa. Namun kini ada sedikit yang berbeda, hal ini terjadi pada Maura dan Mario. Mario yang terkenal sebagai anak terseru di kelasnya, mendadak berubah menjadi lebih dari biasanya. Ini justru membuat teman-teman satu kelasnya bingung, semua pun bertanya, “Apa yang sedang terjadi pada Mario?” Bahkan pernah pada suatu hari Mario mengajak teman-temannya bermain futsal hingga larut malam. Tidak jauh berbeda di lain tempat, Maura pun mendadak menjadi lebih sering tertawa dengan alasan yang tidak begitu jelas. Memang semuanya mengakui bahwa Maura adalah anak yang senang tertawa. Tapi jika tidak jelas tanpa alasan seperti ini, teman-temannya memaklumi bahwa Maura sedang menghadapi suatu masalah yang berat.
Dan hampir disetiap hari itu pula Mario pasti menyempatkan diri untuk bertemu dengan Maura. Ia selalu berusaha untuk membujuk Maura agar mau menerima dirinya. Segala cara dilakukan Mario, salah satunya dengan meminta bantuan sahabat-sahabat Maura. Namun sayang semuanya sia-sia, Maura tetap menjawab tidak dengan diiringi senyum tulus yang justru makin menyakiti hati Mario.
Meskipun Maura tetap menolak Mario, tidak sedikitpun perasaan Mario berkurang kepada Maura, begitu pula sebaliknya dengan Maura. Hubungan mereka berdua tetap baik, meskipun harus diakui sakit juga menjalani hubungan yang menggantung seperti ini.
Hari ini, tepat sudah 6 bulan sejak pertama kali mereka saling mengakui perasaan satu sama lain. Di hari ini jugalah Maura meminta Mario untuk menemuinya di Bandara Soekarno Hatta. Langsung terbesit kecemasan di hati Mario saat mendengar kata Bandara Soekarno Hatta, “Mengapa harus di Bandara sih?” gelisah Mario tanpa suara. Dengan kecepatan maksimal, Mario mengendarai sepeda motornya, ia harus segera sampai di Bandara itu.
“Maura” panggil seseorang yang membuat Maura spontan mencari asal suara itu. Maura seketika tersenyum ketika mengetahui siapa pemilik suara itu, “Marioo” ucapnya. “Hey Mauraa ada apaa? Kenapa harus di Bandara sih? Lo ngga akan pergi jauh-jauh dari gue kan?” tanya Mario cemas sambil menggenggam tangan Maura yang terasa sangat dingin. Maura memperhatikan tangannya yang digenggam oleh Mario, hatinya langsung menjadi tenang, “Emm, gue kangen aja sama lo Mario. Kangen banget sampai-sampai maksa gue buat minta lo dateng ke sini sekarang” jelas Maura apa adanya mengakui seluruh isi hatinya. “Iya Raa, gue rela ngelakuin apa aja asal itu bisa bikin lo seneng” jawab Mario. Maura mendecak lemas, ia menunduk sebelum akhirnya menatap Mario kembali, “Mario, sumpah gue ngga punya waktu banyak lagi, 15 menit lagi pesawat gue take off. Tapi ngeliat kebaikan lo kayak gini, gue jadi berat banget buat pergi ninggalin lo” ucap Maura menjelaskan segalanya. Mario hanya terdiam dan memandang Maura dengan tatapan kosong, sejujurnya ia masih tak percaya dengan pendengarannya barusan. Mario menggeleng-gelengkan kepalanya, “Lo. . . Ma-mau pergi? Pergi kemana sih? Balik lagi juga kan?” tanya Mario sedikit terbata-bata. Maura meraih tangan Mario kembali, ia menggenggamnya erat-erat dan menatap Mario dengan sangat sedihnya, “Marioo gue harus take off ke Germany 15 menit lagi. Gue pindah demi urusan bisnis papah gue, dan gue rasa sampai kuliah nanti gue akan tetap di Germany” ucapnya dan tak kuasa air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya jatuh juga di pipi Maura. Mario langsung tersadar dan menghapus air mata Maura, “Maura please jangan nangis, please gue ngga mau liat lo nangis. Apapun akan gue lakuin asal lo jangan nangis. Gue sedih liat orang yang gue sayang sedih” balas Mario tenang seraya mencoba menenangkan hati Maura kembali, meski tak dapat dipungkiri hatinya gemetar juga sekarang. Sebentar lagi ia akan berpisah dengan Maura, berpisah dalam waktu yang lumayan lama, “Aaaarrrgggh bagaimana cara aku bertahan hidup jika aku tidak melihatnya lagi?” lirihku tak berdaya di dalam hati. Maura menarik nafasnya yang terisak-isak, mengaturnya kembali agar terdengar normal, “Iya Mario gue janji ngga akan nangis lagi, karna gue ngga mau orang yang gue sayang jadi ikutan sedih. Sekarang maukah lo janji satu hal ke gue?” tanya Mario sambil menatapnya dalam-dalam. Mario nampak kebingungan, “Apa yang harus aku katakan? Aku sangat speechless sekarang” gerutu Mario gemas akan dirinya sendiri di dalam hati. Untuk itu ia hanya tersenyum ringan. “Maukah lo janji bahwa suatu hari ini sebelum umur gue 23 tahun, lo akan temui gue di German nanti?” tanya Maura meminta jawaban atas permintaannya itu. Mau tak mau aku harus melepas Maura juga, harus bagaimana lagi memangnya aku? Aku melarangnya juga jadwal keberangkatan kereta tidak akan berubah. Akhirnya aku hanya bisa mengangguk secara perlahan, “Iya Maura gue janji, tunggu gue disana. Gue pasti dateng ke German untuk nemuin lo” jawab Mario disambut dengan helaan nafas lega dari Maura. Apakah aku hanya berdusta? Bagaimana caraku menemuinya di German yang luas seperti itu? Segera kutepis semua pemikiran itu, yang terpenting sekarang aku harus menenangi hati Maura sebelum keberangkatannya ke Deutsch sebentar lagi. Segera kupeluk Maura dengan penuh kasih sayang, ingin rasanya tak kulepas lagi. Oh Tuhan, inikah pertemuan terakhirku dengan Maura? Mengapa cepat sekali? Akankah aku bertemunya lagi di suatu hari nanti? Ya, aku memang sangat menyayanginya.
By : Bunga Mentari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar